Kamis, 03 Juli 2008

Diary Maria

Diary Maria dalam Novel Ayat-Ayat Cinta
Karya : Habiburrahman Saerozi


Lipatan 1:

Senin, 1 Oktober 2001, pukul 22.25

Sudah dua tahun dia dan teman-temannya tinggal di flat bawah.
Kamarnya tepat dibawah kamarku. Aku tak pernah berkenalan langsung
dengannya, tapi aku mengenalnya. Aku tahu namanya dan tanggal lahirnya.
Yousef banyak bercerita tentang dirinya dan teman-temannya. Setiap Jum’at pagi dia dan teman-temannya bermain sepak bola di lapangan bersama Yousef dan anak-anak muda Hadayek Helwan.

Mereka semua mahasiswa Al Azhar dari Indonesia yang ramah dan menghormati siapa saja. Kata Yousef yang paling ramah dan dewasa adalah dia. Bahasa ‘amiyah dan fushanya juga paling baik di antara keempat orang temannya.

Ayah pernah dibuat terharu oleh sikapnya yang tidak mau merepotkan
dan menyakiti tetangga. Ceritanya suatu hari ayah menagih iuran air ke
tempatnya. Ternyata ia sedang tidak enak badan dan istirahat di kamarnya.
Teman-temannya mengajak ayah masuk ke kamarnya. Di dalam kamarnya ada sebuah ember untuk menadah air yang menetes dari langit-langit. Ayah langsung tahu bahwa tetesan air itu berasal dari kamar mandi kami. Karena kamilah yang tepat berada di atasnya. Dan letak kamar mandi memang berada di samping kamarku. Ayah bertanya padanya,
“Sudah berapa lama air ini merembes dan menetes di kamarmu?”
“Satu bulan?”
“Kenapa kau tidak bilang kepadaku kalau ada ketidakberesan di kamar
mandi kami dan merembes ke tempatmu?”

“Nabi kami mengajarkan untuk memuliakan tetangga, beliau bersabda,
‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah
tetangganya!’ Kami tahu kerusakan itu perlu diperbaiki. Dan perbaikan itu
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena lantai rumah Anda adalah langi-langit rumah kami, maka biaya perbaikan itu tentunya kita berdua yang menanggungnya. Kebetulan kami tidak punya uang. Kami menunggu ada uang baru akan memberitahu Anda. Jika kami langsung memberitahu Anda kami takut akan akan merepotkan Anda. Dan itu tidak kami inginkan.”

Mendengar jawaban itu hati ayah sangat tersentuh dan terharu. Ayah
terharu atas kesabaran dia selama satu bulan. Ada air menetes di langit-langit kamar tentu sangat mengganggu kenyamanan. Ayah juga terharu akan kedewasaannya dalam merasa bertanggung jawab. Ayah merasa mendapat teguran. Bagaimana tidak? Setengah tahun sebelumnya ada air menetes di langit-langit kamar mandi kami. Berarti kamar mandi penghuni rumah atas kami tidak beres. Ayah dengan tegas langsung meminta orang atas memperbaikinya tanpa memberi bantuan finansial sedikit pun. Sebab ayah merasa itu sepenuhnya tanggung jawab orang atas. Sejak itu kekaguman ayah padanya dan pada teman-temannya sering ayah ungkapkan. Dan sejak kejadian itu aku jadi penasaran
ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.

Sudah dua tahun dia tinggal di bawah dan aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Seringkali kami bertemu tak sengaja di jalan, di halaman apartemen, di gerbang, atau di tangga. Tapi kami tak pernah bertegur sapa. Dia lebih sering menunduk. Jika tanpa sengaja beradu pandangan saat bertemu denganku dia cepat-cepat menunduk atau mengalihkan padangan. Dia bersikap biasa. Tidak tersenyum juga tidak bermuka masam. Akhirnya tadi siang saat aku pulang dari kuliah aku bertemu dia di dalam metro. Dia juga dari kuliah. Aku memberanikan
diri untuk menyapanya dan mengajaknya bicara. Sebab rasa-rasanya rasa
penasaranku ingin tahu sendiri keindahan pribadinya seperti yang sering
diceritakan Yousef dan ayah tidak dapat aku tahan lagi. Aku menyapanya dengan tersenyum dan dia pun menjawab dengan baik dan halus. Aku heran pada diriku sendiri bagaimana mungkin aku tersenyum padanya. Aku jarang bahkan bisa dikatakan anti memberikan senyum pada lelaki yang bukan keluargaku. Aku tidak tahu kenapa aku memberikan senyumku padanya dan aku tidak merasa menyesal bahkan sebaliknya. Yang membuatku senang adalah dia ternyata tahu namaku. Saat itu aku ingin bertanya padanya kenapa selama ini kalau bertemu di jalan atau ditangga tidak pernah menyapaku. Tapi kuurungkan.
Perbincangan dengannya tadi siang sangat berkesan di hatiku. Dia
memiliki tutur bahasa yang halus dan kepribadian yang indah. Ia tidak mau aku ajak berjabat tangan. Bukan tidak menghormati diriku, kata dia, justru karena menghormati diriku. Dia juga bisa menjadi pendengar yang baik. Sifat yang tidak banyak dimiliki setiap orang. Ia sangat senang menyimak aku membaca surat Maryam. Kelihatannya ia kaget ada gadis koptik hafal surat Maryam. Aku bukan gadis yang mudah terkesan pada seorang pemuda. Tapi entah kenapa aku merasa sangat terkesan dengan sikap-sikapnya. Dan entah kenapa hatiku mulai condong padanya. Hatiku selalu bergetar mendengar namanya. Lalu ada perasaan halus
yang menyusup ke sana tanpa aku tahu perasaan apa itu namanya. Fahri, nama itu seperti embun yang menetes dalam hati. Kurindu setiap pagi.

Lipatan 2:

Minggu, 16 Desember 2001, pukul 21.00

Kenapa aku menangis? Perasaan apa yang mendera hatiku
sekarang? Begitu menyiksa. Aku tak pernah merindukan seseorang seperti rinduku padanya. Sudah satu bulan aku tidak melihatnya melintas di halaman apartemen. Sudah satu bulan dia menghilang membuat hatiku merasa tercekam kerinduan. Yousef bilang Fahri pergi umrah sejak pertengahan Ramadhan dan sampai sekarang belum juga pulang. Aku merasa memang telah jatuh cinta padanya. Cinta yang datang begitu saja tanpa aku sadari kehadirannya di dalam hati.

Lipatan 3:

Sabtu, 10 Agustus 2002 pukul 11.15

Pulang dari restoran Cleopatra kugoreskan pena ini. Sebab aku tidak bisa
mengungkapkan gelegak perasaanku secara tuntas kecuali dengan menorehkannya dalam diary ini. Akhirnya keraguanku padanya hilang, berganti dengan keyakinan. Selama ini aku ragu apakah dia bisa romantis. Sebab selama bertemu atau berbicara dengannya dia sama sekali tidak pernah berkata yang manis-manis. Selalu biasa, datar dan wajar. Dia selalu tampak serius meskipun setiap kali aku tersenyum
padanya dia juga membalas dengan senyum sewajarnya.

Tapi malam ini, apa yang dia lakukan membuat hatiku benar-benar sesak
oleh rasa cinta dan bangga padanya. Dia sangat perhatian dan suka membuat kejutan. Kali ini yang mendapat kejutan indah darinya adalah Mama dan Yousef. Mereka berdua mendapat hadiah ulang tahun darinya. Meskipun di atas namakan seluruh anggota rumahnya tapi aku yakin dialah yang merencanakan semuanya. Dia ternyata sangat romantis. Tak perlu banyak berkata-kata dan langsung dengan perbuatan nyata. Fahri, aku benar-benar tertawan olehmu. Tapi apakah kau tahu yang terjadi pada diriku? Apakah kau tahu aku mencintaimu? Aku malu untuk mengungkapkan semua ini padamu. Dan ketika kau kuajak dansa tidak mau
itu tidak membuatku kecewa tapi malah sebaliknya membuat aku merasa sangat bangga mencintai lelaki yang kuat menjaga prinsip dan kesucian diri seperti dirimu.

Lipatan 4:

Minggu, 11 Agustus 2002 pukul 22.00

Aku sangat cemas memikirkan dia. Dia dia tergeletak keningnya panas.
Kata Mama terkena heat stroke. Kata teman-temannya dia seharian melakukan kegiatan yang melelahkan di tengah musim panas yang sedang menggila.

Oh, kekasihku sakit.

Aku menjenguknya.

Wajahnya pucat.

Aku jadi sakit dan pucat.

Karena memikirkan dirinya.

Aku semakin tahu siapa dia. Untuk pertama kalinya aku tadi masuk kamarnya ikut Mama dan Ayah menjenguknya. Dia seorang pemuda yang ulet, pekerja keras, dan memiliki rencana ke depan yang matang. Aku masih ingat dia menyitir perkataan bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!’

Aku merasa tidak salah mencintai dia. Aku ingin hidup bersamanya.
Merenda masa depan bersama dan membesarkan anak-anak bersama.
Membangun peradaban bersama. Oh Fahri, apakah kau mendengar suara-suara cinta yang bergemuruh dalam hatiku?

Lipatan 5:

Sabtu, 17 Agustus 2002, pukul 23.15

Aku belum pernah merasakan ketakutan dan kecemasan sehebat ini? Aku
tak ingin kehilangan dirinya. Dia memang keras kepala. Diingatkan untuk
menjaga kesehatannya tidak juga mengindahkannya. Akhirnya terjadilah
peristiwa yang membuat diriku didera kecemasan luar biasa.
Siang tadi pukul setengah empat Saiful datang dengan wajah cemas.
Minta tolong Fahri dibawa ke rumah sakit. Fahri tak sadarkan diri. Aku telpon Mama di rumah sakit lalu bersama Yousef membawa Fahri ke rumah sakit. Aku menungguinya sampai jam delapan malam. Dan dia belum juga siuman. Ah, Fahri kau jangan mati! Aku tak mau kehilangan dirimu. Sembuhlah Fahri, aku akan katakan semua perasaanku padamu. Aku sangat mencintaimu.

Lipatan 6:

Minggu, 18 Agustus 2002, pukul 17.30

Seolah-olah akulah yang sakit, bukan dia. Tuhan, jangan kau panggil dia.
Aku ingin dia mendengar dan tahu bahwa aku sangat mencintainya.
Dia tergeletak tanpa daya berselimut kain putih. Kata Saiful pukul setengah tiga malam dia sadar tapi tak lama. Lalu kembali tak sadarkan diri sampai aku datang menjenguknya jam setengah delapan pagi tadi. Kulihat Saiful pucat. Ia belum tidur dan belum makan. Kuminta dia keluar mencari makan. Aku mengantikan Saiful menjaganya. Aku tak kuasa menahan sedih dan air mataku. Dia terus mengigau dengan bibir bergetar membaca ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matanya meleleh . Mungkin dia merasakan sakit yang tiada terkira.
Aku tak kuasa menahan rasa sedih yang berselimut rasa cinta dan sayang
padanya. Kupegang tangannya dan kuciumi. Kupegang keningnya yang hangat. Aku takut sekali kalau dia mati. Aku tidak mau dia mati. Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak menciumnya. Pagi itu untuk pertama kali aku mencium seorang lelaki. Yaitu Fahri. Aku takut dia mati. Kuciumi wajahnya. Kedua pipinya. Dan bibirnya yang wangi. Aku tak mungkin melupakan kejadian itu. Kalau dia sadar mungkin dia akan marah sekali padaku. Tapi aku takut dia mati. Saat menciumnya aku katakan padanya bahwa aku sangat mencintainya. Tapi dia tak juga sadar. Tak juga menjawab. Pukul delapan dia bangun dan dia kelihatan kaget melihat aku berada di sisinya. Aku ingin mengatakan aku cinta padanya. Tapi entah kenapa melihat sorot matanya yang bening aku tidak berani mengatakannya. Tenggorokanku tercekat. Mulutku terkunci hanya hati yang berbicara tanpa suara. Tapi aku berjanji akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya padanya. Aku ingin menikah dengannya. Dan aku akan mengikuti semua keinginannya. Aku
sangat mencintainya seperti seorang penyembah mencintai yang disembahnya. Memang memendam rasa cinta sangat menyiksa tapi sangat mengasyikkan. Love is a sweet torment!

Lipatan terakhir:

Jum’at, 4 Oktober 2002, pukul 23.25

Aku masih sangat kelelahan baru pulang dari Hurgada. Baru setengah
jam meletakkan badan di atas kasur aku mendapatkan berita yang
meremukredamkan seluruh jiwa raga. Fahri telah menikah dengan Aisha,
seorang gadis Turki satu minggu yang lalu. Aku merasa dunia telah gelap. Dan hidupku tiada lagi berguna. Harapan dan impianku semua lenyap. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku kecewa pada hari-hari yang telah kujalani. Andaikan waktu bisa diputar mundur aku akan mengungkapkan semua perasaan cintaku padanya dan mengajaknya menikah sebelum dia bertemu Aisha. Aku merasa ingin mati saja. Tak ada gunanya hidup tanpa didampingi seorang yang sangat kucintai dan kusayangi. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati saja. Aku rasa aku tiada bisa hidup tanpa kekuatan cinta. Aku akan menunggunya di surga.

Tidak ada komentar: